Pasutri - Cinta dan Pasutri dalam Budaya - Pada 2011 lalu bisa dikatakan sebagai tahun Cinta bagi pasutri. Mengapa? Tentu saja karena saat ini kita sering mendapati banyak pasangan suami istri yang biasa disebut pasutri, berbondong-bondong menikah sebelum memasuki 2012. Entah karena isu kiamat atau bukan. Tentunya para pasutri itu mengharapkan memiliki kehidupan pernikahan yang indah dan harmonis.
Siapa sih manusia normal yang tidak ingin menikah menjadi pasutri resmi? Apalagi menjadi pasutri yang saling mencintai dan hidup “Happily ever after”. Layaknya kisah putri dan pangeran karangan Brothers Grimm, yang membuat banyak orang selalu memimpikan pernikahan indah dengan orang yang dicintai serta menjadi pasutri ideal.
Salahkah impian menjadi pasutri ideal itu? Jika memang salah, kita tidak akan melihat banyaknya status galau tentang cinta pada setiap halaman facebook, baik itu patah hati, jatuh cinta, dan kemudian semua orang seakan menjadi pujangga dadakan. Berharap dapat menjadi pasutri yang bahagia dengan orang yang diimpikannya.
Semua orang memiliki mimpi untuk mendapatkan cinta dan pernikahan yang bahagia. Seringnya itu dipengaruhi oleh adanya dongeng-dongeng mengenai khayalan bertemu dengan pangeran berkuda putih, kemudian menjadi sang putri yang diselamatkan dan bahagia selamanya. Walau kemudian ketika dewasa kita berhadapan dengan sebuah realita yang tidak indah. Di mana tiap pasutri pasti akan mendapat cobaan dan permasalahan yang hebat dalam hidupnya.
Itulah hebatnya kekuatan sebuah media yang mampu memberi pengaruh besar terhadap pandangan dan pemikiran pembacanya. Apalagi ketika dikemas dengan gaya bahasa sastra yang indah sehingga dapat memainkan imajinasi pembaca.
Dan, buku dongeng yang kita baca itu berpengaruh hingga dewasa. Tidak percaya? Silahkan Anda melihat jajaran novel dewasa di beberapa toko buku, yang pasti akan menceritakan masalah kisah cinta, baik cinta yang indah maupun tragis. Bahkan, Djenar Mahesa Ayu dalam beberapa novelnya, walaupun menceritakan tentang rasa “sakit”, tapi tetap saja ada pengharapan mengenai cinta di dalamnya. Lesbianlah, seks, namun tetap menggambarkan keinginan untuk dicintai. Mungkin itu sudah menjadi kelumrahan sifat manusia.
Cinta dan Pasutri dalam BudayaCinta sangat dikenal dalam berbagai kebudayaan manusia. Misalnya kisah pasutri yang sangat melegenda ini. Siapa yang tidak mengenal Kaisar Mughal Shāh Jahān dan istri jelitanya, Arjumand Banu Begum di India. Sang Kaisar mendirikan Taj Mahal untuk rasa cintanya yang sangat besar kepada sang istri. Bahkan bangunan itu menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia yang sangat melegenda dan menjadi salah satu ikon cinta untuk para pasutri di dunia. Itulah salah satu penyebab mengapa masyarakat India sangat mengagungkan cinta dan pernikahan. Ini dapat dilihat pada budaya agama Hindu mereka yang sangat kental.
Dalam adat kuno India, ketika sang suami sudah meninggal maka sang istri tidak akan menikah lagi. Yang lebih ekstrem, masayarakat India lama sering melakukan tradisi Sati, di mana sang istri ikut masuk ke dalam api untuk mengikuti suami mereka yang dibakar mayatnya sebagai bentuk cinta dan pengabdian kepada sang suami. Menurut banyak orang di dunia, adat pasutri di India ini sangat aneh dan ditentang.
Berbeda lagi dengan Yunani. Bagi yang suka kisah mitologi tentu mengenal Herkules, Perseus, Theseus dan banyak lagi pahlawan hasil hubungan gelap antara Zeus dengan para manusia. Yunani merupakan salah satu kawasan yang kental dengan seks dan cinta, di mana Aphrodite dan Cupid, anaknya, menebarkan cinta dan gairah kepada setiap manusia.
Pada zaman dahulu kala, dalam kehidupan masyarakat paganisme, seks termasuk dalam ritual penyembahan mereka. Seks adalah perlambangan kesuburan. Bumi ibarat wanita yang akan menerima benih dari langit. Ibaratnya tanah kita disirami hujan yang dianggap sebagai sperma dari langit.
Masih ada yang belum tahu dengan pasti apakah pada zaman dahulu, zaman sejarah atau bahkan prasejarah telah mengenal pernikahan. Yang pasti, mereka mengenal konsep kekeluargaan, pembagian kerja serta berkembang biak secara naluri, insting, dan proses belajar untuk bertahanan hidup. Mereka hanya mengenal kehidupan yang liar, nafsu, dan tanpa kekangan.
Semakin hari mereka belajar tentang hidup, cara bertahan, dan seni. Seni yang membuat mereka dapat membuat barang-barang, tarian, lukisan, bahkan tulisan. Begitu pula dengan keluarga. Dengan ketertarikan satu sama lain dan perasaan cinta, maka sepasang anak manusia dapat menjadi pasutri dan membangun keluarga mereka.
Setelah manusia mengenal agama, terutama agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), seks menjadi sesuatu yang tabu. Manusia harus melalui pernikahan untuk melakukannya. Kemudian kebiasaan lama dalam masyarakat berbaur dengan ajaran agama sehingga menghasilkan aturan dan adanya upacara pernikahan untuk mengesahkan dua insan menjadi pasutri.
Pasutri - Romansa Patriarkhi dalam “Raise The Red Lantern”Masyarakat di berbagai budaya di dunia sebagian besar menganut sistem patriarkhi. Partiarkhi merupakan sistem sosial dalam pernikahan atau kekerabatan, di mana tokoh otoritas yang berpengaruh adalah laki-laki. Di sini, laki-laki memiliki dominasi dalam memegang roda pemerintahan keluarga dan berperan layaknya kepala negara.
Budaya patriarkhi terbentuk karena adanya pemikiran bahwa secara fisik laki-laki lebih kuat dari wanita. Adam lebih dulu ada dari Hawa sehingga laki-laki menjadi pemegang kekuasaan. Salah satu gambaran kehidupan masayarakat budaya patriarkhi dapat kita lihat dalam buku yang berkisah mengenai kehidupan pasutri dalam kehidupan masyarakat Cina. Buku ini berjudul “Raise The Red Lantern”, karangan salah satu penulis Cina bernama Su Tong.
Buku ini tidak menceritakan kehidupan sepasang suami istri atau pasutri, tapi empat orang istri yang harus berbagi kasih sayang seorang tuan besar yang kaya raya. Uniknya, mereka memainkan intrik yang tidak jauh berbeda dilakukan oleh para politisi kita.
Kisah dimulai dengan seorang gadis cantik bernama Teratai, yang setelah kematian ayahnya ingin hidup lebih mudah dan terlepas dari kemiskinan. Ia memutuskan menikah dengan seorang tuan besar yang kaya raya. Tentunya bukan pangeran tampan seperti dalam dongeng-dongeng, bukan pula menjadi pasutri ideal seperti dalam impian banyak wanita.
Pada kenyataannya, Teratai memilih untuk menikah dengan pria tua berumur lima puluh tahun yang memiliki 3 orang istri. Istri pertama bernama Sukacita merupakan wanita tua yang bertubuh gendut dan sangat kaku. Akibat hobi menikah sang suami, Sukacita menjadi nyonya rumah yang kolot, keras, dan selalu menghabiskan waktu dengan tasbihnya.
Istri kedua yang bernama Mega adalah satu-satunya istri sang Tuan Besar yang menyambutnya dengan ramah. Mega sangat anggun, cerdas dan terpelajar. Ia terlihat sebagai wanita yang mudah disukai oleh orang banyak dan merupakan gambaran nyonya besar yang ideal. Berbeda dengan istri ketiga bernama Karang yang sangat cantik dan merupakan mantan artis. Sejak pertama kedatangan Teratai, Karang memperlihatkan sikap tidak bersahabat dan sangat kasar.
Bagaimana seorang Tuan Besar dengan empat orang istri harus menghabiskan malamnya? Setiap malam, akan dipasang lentera merah di kamar istri yang diinginkan oleh tuan besar dan menghabiskan waktu sesukanya. Setiap harinya, para istri ini memiliki cara tersendiri untuk menarik perhatian tuan besar. Tidak hanya dengan kecantikan dan pesona mereka, tetapi cara-cara licik yang dapat membahayakan istri lainnya.
Awalnya Teratai dan Tuan Besar menjadi pasutri yang penuh dengan gairah. Dengan kemudaan dan kecantikannya, Teratai menjadi kesayangan Tuan Besar. Sayangnya, sebagai wanita muda berusia dua puluhan, Teratai memiliki sifat yang keras, labil, dan sangat emosional. Hal itu dimanfaatkan istri lainnya yang sangat licik untuk menyudutkan keadaan Teratai sehingga ia mendapatkan masalah yang terus beruntun.
Tidak disangka bahwa istri yang pada awalanya terlihat memusuhi menjadi korban dan istri yang awalnya terlihat sangat baik adalah pemain lakon yang hebat. Belum lagi kenyataan bahwa sang Tuan Besar yang telah uzur tidak mampu memuaskan hasrat mudanya sehingga ia merasa menjadi seonggok daging tanpa gairah di sebuah kamar kosong.
Teratai terjebak dalam sangkar emas dengan intrik para istri yang ingin menghancurkannya serta aturan yang membuat dia tidak bisa meninggalkan rumah Tuan Besar. Pada akhirnya, Teratai menjadi wanita muda yang setiap hari menghabiskan waktu sendirian di taman wisteria atau terkadang berjalan-jalan mengelilingi sumur terlarang.
Ketika seorang istri baru datang ke rumah itu, ia sering melihat teratai dengan tatapan kosong memandangi sumur terlarang sambil berkata “Aku tidak akan melompat, aku tidak akan melompat.“
Kisah di atas merupakan sedikit gambaran pernikahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dalam kenyataannya. Tapi, tentunya tidak semua kisah pasutri sangat tragis seperti itu.
Menjadi pasangan suami istri atau pasutri yang harmonis dan saling mencintai tentunya merupakan impian setiap orang. Akan tetapi, kenyataan memang tidak seindah khayalan yang terbentuk sejak masa kecil dengan adanya kisah pangeran dan putri. Tidak ada yang “Happily ever after”, yang ada adalah bagaimana kita membuat hidup itu selalu bergairah dan menyenangkan setiap saat, bagaimana mengisi hari dengan penuh warna dan makna, dan bagaimana mendewasakan diri dengan menghadapi berbagai persoalan yang ada.
Mengutip salah satu perkataan teman “pernikahan itu butuh fondasi yang kuat agar tidak tercecer nantinya. Fondasi itu adalah Cinta. Jadi, jangan sembarangan menentukan seseorang yang menjadi pendamping kita.” Jadi, Anda siap menjadi pasutri hari ini?